Senin, 22 Mei 2023

APA ITU JALAN YANG LURUS?

 


الصِّرَاطَ الْمُسْتَـقِيْمَ مَا هُوَ

Apa itu jalan yang lurus ?

 

Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu ketika beliau ditanya tentang apa itu jalan yang lurus? beliau menjawab:

الصِّرَاطُ الْمُستَقـِيْمُ الَّذِي تَرَكَنَا عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ

Artinya: “Jalan yang lurus adalah jalan yang ditinggalkan (yang telah dibawa, yang telah disyariatkan dan yang telah dicontohkan) oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam untuk kami”. (Atsar shahih, dikeluarkan Ath Thabari dan yang lainnya).

Itulah jalan keselamatan dan tidak ada selainnya, karena jalan keselamatan itu hanya satu yaitu jalan yang telah dibawa, yang telah disyariatkan, yang telah dicontohkan dan telah ditinggalkan oleh Rasulullah kepada kita sebagai tujuan diutuskannya beliau Shalallahu alaihi wa sallam. Barangsiapa yang tidak mau dan enggan mengikuti jalan tersebut, maka dia akan celaka dan sesat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:

لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ، لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِي إَلاَّ هَالِكٌ.

Artinya: “Sungguh telah aku tinggalkan kalian dalam suatu keadaan terang-benderang, putih bersih siangnya seperti malamnya. Tidak ada yang berpaling dari keadaan tersebut kecuali dia pasti celaka (binasa).” hadits hasan yang diriwayatkan Imam Ahmad (IV/26), Ibnu Majah (hadits no. 43) dan al Lalikai di dalam Syarh Ushul I’tiqad (hadits no. 79), dari al Irbadh bin Sariyah.

Hadits tersebut menjelaskan betapa jelasnya jalan yang ditinggalkan oleh Rasulullah bagi kita untuk menuju sebuah keselamatan dan kebahagiaan sehinga tidak ada sesuatu yang tertinggal dan yang tidak jelas, semuanya telah dijelaskan.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:

مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقّرِبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ عَنِ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

Artinya: “Tidaklah ada sesuatupun yang mendekatkan diri kepada surga dan menjauhkan dari neraka melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kalian.” (HR. At-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (II/155-156 no. 1647) dan Ibnu Hibban (no. 65) dengan ringkas dari Shahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah no. 1803).

Berupa perintah dan larangan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:

عَنِ الْمُطَّلِبِ بْنِ حَنْطَبٍ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا تَرَكْتُ شَيْـئًا مِمَّا أَمَرَكُمُ اللهُ بِهِ إِلاَّ وَقَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ، وَلاَ تَرَكْتُ شَيْـئًا مِمَّا نَـهَاكُمُ اللهُ عَنْهُ إِلاَّ وَقَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ.

Artinya: Dari Muththalib bin Hanthab, seorang Tabi’in terpercaya, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidaklah aku tinggalkan sesuatu pun dari perintah-perintah Allah kepada kalian, melainkan telah aku perintahkan kepada kalian. Begitu pula tidaklah aku tinggalkan sesuatu pun dari larangan-larangan Allah kepada kalian melainkan telah aku larang kalian darinya.  Riwayat Imam asy-Syafi’i dalam kitab ar-Risalah (hal. 87-93 no. 289), tahqiq Syaikh Ahmad Muhammad Syakir rahimahullah, al-Baihaqi (VII/76). Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahihah (no. 1803).

Sebagaimana layaknya seorang ayah yang tidak pernah bosan mengajarkan anaknya demi kabaikan si anak disetiap saat dan kondisinya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:

إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ بِمَنْزِلَةِ الْوَالِدِ أُعَلِّمُكُمْ

Artinya: “Sesungguhnya kedudukanku terhadap kalian seperti kedudukan seorang ayah, aku mengajari kalian semua….HR. Abu Dawud (no. 8) dan lainnya.

Tidak ada pilihan yang lain bagi seseorang muslim yang ingin selamat dan bahagia melainkan mengikuti jalan yang telah dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jalan yang beliau bawa adalah jalan kebahagiaan dan keselamatan sehingga tidak ada jalan keselamatan bagi seseorang melainkan mengambil dan mengikuti jalan tersebut. Jangan cari dan pilih jalan lain selain jalan yang disampaikan oleh beliau.

Perlu digaris bawahi bahwa jalan yang telah dibawa, yang telah disyariatkan, yang telah dicontohkan dan telah ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam barometer baik dan salahnya bukan ditentukan oleh banyaknya orang, yang banyak jadi benar, yang sedikit jadi salah itu namanya demokrasi, Islam bukan agama demokrasi yang ditentukan oleh mayoritas.

Jalan yang telah dibawa, yang telah disyariatkan, yang telah dicontohkan dan telah ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan patokan logika dan akal semata yang diliputi oleh nafsu dan syahwat.

Jalan yang telah dibawa, yang telah disyariatkan, yang telah dicontohkan dan telah ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan juga barometernya praduga, prasangka semata.

Jalan yang telah dibawa, yang telah disyariatkan, yang telah dicontohkan dan telah ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan apa kata orang, apa kata nenek moyang, akan tetapi apa kata wahyu.

Kita selalu meminta dalam sholat kita:

اِھْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَـقِيْمَ

Artinya: “Tunjukilah kami jalan yang lurus”

Akan tetapi kita tidak mau mengikuti jalan tersebut, jangan menjadi orang yang berdusta dan mengingkari doa yang selalu di panjatkan.

Kita selalu berdoa disetiap rakaat sholat:

اِھْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَـقِيْمَ

Artinya: “Tunjukilah kami jalan yang lurus”

Akan tetapi pola hidup dan gaya hidup kita tidak sesuai dengan apa yang kita minta, seperti: cara kita mencari rezeki dan membelanjakannya (menghabiskanya), mencari pasangan hidup, mendidik anak, cara kita memimpin ketika kita diamanahkan menjadi seorang pemimpin baik pemimpin di sebuah instansi atau di usaha swasta dan seterusnya.

Jangan pernah mencari jalan lain selain jalan yang telah dibawa, yang telah disyariatkan, yang telah dicontohkan dan telah ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Apabila seseorang mencari jalan lain tentu akan sesat dan rugi, banyak sejarah orang-orang sebelum kita yang mana mereka mencari jalan lain lalu mereka di akhir hayatnya su’ul khatimah dan hidupnya rusak. Orang yang tidak mau mengikuti jalan yang dibawakan oleh Rasulullah dia akan selalu diliputi oleh kesengsaraan dan musibah.

Ada sebuah kisah di Riyad, ceritanya suatu ketika ibunya menelpon anak laki-lakinya yang tinggal di Riyad untuk mengabarkan bahwa adik laki-lakinya diterima di universitas di daerah dia tinggal, ibunya meminta agar adik laki-lakinya tinggal serumah dengan dia dan istrinya, akhirnya dia iyakan berjalan 2-3 tahun dia mengalami kecelakaan yang cukup serius dan diobservasi secara mendalam, kemudian kondisinya agak membaik dan bisa dijenguk akhirnya datanglah sang istri membawa 2 anak dan adiknya, dokternya bertanya anak siapa ini? Dia menjawab anak saya dokter, dokternya kaget setelah sang istri, 2 anaknya dan adiknya pulang, dokternya menjelaskan sesuai data observasi bahwa dia memiliki genetik nol atau mandul, terus dokternya bilang anaknya tadi ada dua kemungkinan, kemungkinan pertama sebuah kebesaran Allah yang diberikan kepadanya, kedua kedua anaknya tadi hasil hubungan biologis dengan orang lain, setelah pulih dan bisa pulang, sang suami bertanya dengan serius kepada sang istri, akhirnya sang istri jujur bahwa ke 2 anak itu dari hasil biologisnya dengan adik iparnya (adik suaminya). Karena adiknya bukan mahram bagi istrinya, cukup banyak kasus seperti ini maka telah betul apa yang disampaikan oleh Nabi kita.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْحَمْوُ الْمَوْتُ

Artinya: “Hamwu (ipar) adalah maut.” (HR. Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 2172)

Yang dimaksud dengan maut di sini yaitu berhubungan dengan keluarga dekat istri dan keluarga suami yang bukan mahram perlu ekstra hati-hati dibanding dengan yang lain. Karena dengan mereka seringkali bertemu dan tidak ada yang bisa menyangka bahwa perbuatan yang mengantarkan pada zina atau zina yang keji itu sendiri bisa terjadi. Kita pun pernah mendapatkan berita-berita semacam itu.

Hadits di atas juga mengajarkan larangan berdua-duaan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram. Karena dalam hadits sudah disebutkan pula,

لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا

Artinya: “Janganlah salah seorang di antara kalian berdua-duaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya) karena setan adalah orang ketiganya.” (HR. Ahmad 1: 18. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, para perowinya tsiqoh sesuai syarat Bukhari-Muslim).


Banyak yang tahu terkait masalah ini, akan tetapi mereka tidak mau meninggalkan larangan tersebut, disitulah awal mula kehancuran baginya.

Dikisahkan, suatu hari diselenggarakan sebuah jamuan makan yang mereka namakan jamuan kekeluargaan. Yang terjadi kemudian adalah, salah seorang lelaki dari keluarga tersebut mengundang saudara laki-lakinya berikut istrinya untuk datang. Kemudian mulailah mereka menikmati arak bersama, dimana ia memperbanyak takaran arak untuk para suami dan mengurangi takaran untuk istri. Sedangkan dirinya sendiri hanya minum sedikit, agar tetap sadar (terjaga) sehingga dapat memainkan peran jahatnya. Setelah lebih kurang satu jam lamanya, mabuklah para suami hingga tidak sadarkan diri. Dilanjutkan kemudian dengan sentuhan-sentuhan dan senda gurau yang turut ambil bagian antara dirinya dengan istri-istri saudara-saudaranya yang juga telah sedikit mabuk akibat mengalirnya alkohol di kepala mereka. Hingga yang terjadi selanjutnya adalah lelaki tadi memangsa istri-istri saudaranya sendiri di dekat para suami mereka yang tengah mabuk. (Dikutip dari buku Kado Perkawinan [terjemah], Mahmud Mahdi al-Istambuli, hlm. 456).    

Ada juga seorang suami istri yang selalu rajin hadir di majelis-majelis ilmu, suatu ketika bisnisnya mengalami kerugian akhirnya tidak ada modal untuk membangun bisnis lagi, dari situ mulai berpikir untuk meminjam uang di Bank dan pada akhirnya direalisasikan, mereka paham terkait riba tapi mereka meremehkannya, singkat cerita bisnis yang mereka bangun dengan uang riba tersebut berkembang pesat sampai-sampai tidak sempat lagi hadir di majelis-majelis ilmu seperti dulu, merambat ke sholat mulai tidak sholat dan pertikaian dalam rumah tangga mulai muncul, akhirnya terjadilah perselingkuhan dan  dari situlah mereka bercerai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Power Of Doa (Kekuatan Doa)

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâm ‘alâ rasûlillâh, amma ba’du! Setiap untaian doa yang dipanjatkan oleh seorang hamba dis...