الصِّرَاطَ الْمُسْتَـقِيْمَ مَا
هُوَ
Apa itu jalan yang lurus ?
Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu ketika beliau ditanya tentang apa
itu jalan yang lurus? beliau menjawab:
الصِّرَاطُ الْمُستَقـِيْمُ الَّذِي
تَرَكَنَا عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ
Artinya: “Jalan yang lurus adalah jalan yang ditinggalkan (yang telah dibawa, yang telah disyariatkan dan yang telah dicontohkan) oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam untuk kami”. (Atsar shahih, dikeluarkan Ath Thabari dan yang lainnya).
Itulah jalan keselamatan dan tidak ada
selainnya, karena jalan keselamatan itu
hanya satu yaitu jalan yang telah dibawa, yang telah disyariatkan, yang telah
dicontohkan dan telah ditinggalkan oleh Rasulullah kepada kita sebagai
tujuan diutuskannya beliau Shalallahu alaihi wa sallam. Barangsiapa yang tidak mau dan
enggan mengikuti jalan tersebut, maka dia akan celaka dan sesat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ، لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِي إَلاَّ هَالِكٌ.
Artinya: “Sungguh telah aku tinggalkan kalian dalam suatu
keadaan terang-benderang, putih bersih siangnya seperti malamnya. Tidak ada
yang berpaling dari keadaan tersebut kecuali dia pasti celaka (binasa).” hadits hasan yang diriwayatkan Imam Ahmad
(IV/26), Ibnu Majah (hadits no. 43) dan al Lalikai di dalam Syarh Ushul I’tiqad
(hadits no. 79), dari al Irbadh bin Sariyah.
Hadits tersebut menjelaskan
betapa jelasnya jalan yang
ditinggalkan oleh Rasulullah bagi kita untuk menuju sebuah keselamatan dan kebahagiaan
sehinga tidak ada sesuatu yang tertinggal dan yang tidak jelas, semuanya telah dijelaskan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
beliau bersabda:
مَا
بَقِيَ شَيْءٌ يُقّرِبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ عَنِ النَّارِ إِلاَّ قَدْ
بُيِّنَ لَكُمْ
Artinya: “Tidaklah ada sesuatupun yang mendekatkan diri kepada
surga dan menjauhkan dari neraka melainkan telah dijelaskan semuanya kepada
kalian.” (HR. At-Thabrani dalam
Mu’jamul Kabir (II/155-156 no. 1647) dan Ibnu Hibban (no. 65) dengan ringkas
dari Shahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahaadits
ash-Shahihah no. 1803).
Berupa perintah dan larangan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
beliau bersabda:
عَنِ الْمُطَّلِبِ بْنِ حَنْطَبٍ: أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا تَرَكْتُ شَيْـئًا
مِمَّا أَمَرَكُمُ اللهُ بِهِ إِلاَّ وَقَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ، وَلاَ تَرَكْتُ
شَيْـئًا مِمَّا نَـهَاكُمُ اللهُ عَنْهُ إِلاَّ وَقَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ.
Artinya: Dari Muththalib bin Hanthab, seorang Tabi’in terpercaya,
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidaklah aku
tinggalkan sesuatu pun dari perintah-perintah Allah kepada kalian, melainkan
telah aku perintahkan kepada kalian. Begitu pula tidaklah aku tinggalkan
sesuatu pun dari larangan-larangan Allah kepada kalian melainkan telah aku
larang kalian darinya.” Riwayat Imam
asy-Syafi’i dalam kitab ar-Risalah (hal. 87-93 no. 289), tahqiq Syaikh Ahmad
Muhammad Syakir rahimahullah, al-Baihaqi (VII/76). Lihat Silsilah al-Ahaadiits
ash-Shahihah (no. 1803).
Sebagaimana layaknya seorang
ayah yang tidak pernah bosan mengajarkan anaknya demi kabaikan si anak disetiap
saat dan kondisinya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
beliau bersabda:
إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ بِمَنْزِلَةِ الْوَالِدِ
أُعَلِّمُكُمْ
Artinya: “Sesungguhnya
kedudukanku terhadap kalian seperti kedudukan seorang ayah, aku mengajari
kalian semua….” HR. Abu Dawud
(no. 8) dan lainnya.
Tidak ada pilihan yang lain bagi seseorang
muslim yang ingin selamat dan bahagia melainkan mengikuti jalan yang telah
dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jalan yang
beliau bawa adalah jalan kebahagiaan dan keselamatan sehingga tidak ada jalan keselamatan
bagi seseorang melainkan mengambil dan mengikuti jalan tersebut. Jangan cari
dan pilih jalan lain selain jalan yang disampaikan oleh beliau.
Perlu digaris bawahi bahwa jalan yang telah
dibawa, yang telah disyariatkan, yang telah dicontohkan dan telah ditinggalkan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam barometer baik
dan salahnya bukan ditentukan oleh banyaknya orang, yang banyak jadi benar,
yang sedikit jadi salah itu namanya demokrasi, Islam bukan agama demokrasi yang
ditentukan oleh mayoritas.
Jalan yang telah dibawa, yang telah
disyariatkan, yang telah dicontohkan dan telah ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bukan patokan logika dan akal semata yang
diliputi oleh nafsu dan syahwat.
Jalan yang telah dibawa, yang telah
disyariatkan, yang telah dicontohkan dan telah ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bukan juga barometernya praduga, prasangka semata.
Jalan yang telah dibawa, yang telah disyariatkan,
yang telah dicontohkan dan telah ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bukan apa kata orang, apa kata nenek moyang, akan tetapi apa kata wahyu.
Kita selalu meminta dalam sholat kita:
اِھْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَـقِيْمَ
Artinya: “Tunjukilah kami jalan yang
lurus”
Akan tetapi kita tidak mau mengikuti jalan
tersebut, jangan menjadi orang yang berdusta dan mengingkari doa yang selalu di
panjatkan.
Kita selalu berdoa disetiap rakaat sholat:
اِھْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَـقِيْمَ
Artinya: “Tunjukilah kami jalan yang
lurus”
Akan tetapi pola hidup dan gaya hidup kita
tidak sesuai dengan apa yang kita minta, seperti: cara kita mencari
rezeki dan membelanjakannya (menghabiskanya), mencari pasangan hidup, mendidik
anak, cara kita memimpin ketika kita diamanahkan menjadi seorang pemimpin baik
pemimpin di sebuah instansi atau di usaha swasta dan seterusnya.
Jangan pernah mencari jalan lain selain jalan
yang telah dibawa, yang telah disyariatkan, yang telah dicontohkan dan telah
ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila seseorang mencari jalan lain tentu
akan sesat dan rugi, banyak sejarah orang-orang sebelum kita yang mana mereka
mencari jalan lain lalu mereka di akhir hayatnya su’ul khatimah dan hidupnya
rusak. Orang yang tidak mau mengikuti jalan yang dibawakan oleh Rasulullah dia akan selalu diliputi oleh kesengsaraan dan musibah.
Ada sebuah kisah di Riyad, ceritanya suatu
ketika ibunya menelpon anak laki-lakinya yang tinggal di Riyad untuk mengabarkan bahwa adik laki-lakinya diterima di universitas
di daerah dia tinggal, ibunya meminta agar adik laki-lakinya tinggal serumah
dengan dia dan istrinya, akhirnya dia iyakan berjalan 2-3 tahun dia mengalami
kecelakaan yang cukup serius dan diobservasi secara mendalam, kemudian kondisinya agak membaik dan bisa
dijenguk akhirnya datanglah sang istri membawa 2 anak dan adiknya, dokternya bertanya
anak siapa ini? Dia menjawab anak saya dokter, dokternya kaget setelah sang istri,
2 anaknya dan adiknya pulang, dokternya menjelaskan sesuai data observasi bahwa
dia memiliki genetik nol atau mandul, terus dokternya bilang anaknya tadi ada
dua kemungkinan, kemungkinan pertama sebuah kebesaran Allah yang
diberikan kepadanya, kedua kedua anaknya tadi hasil hubungan
biologis
dengan orang lain, setelah pulih dan bisa pulang,
sang suami bertanya dengan serius kepada sang istri, akhirnya sang istri jujur bahwa ke 2 anak itu
dari hasil biologisnya dengan adik iparnya (adik suaminya). Karena adiknya bukan mahram bagi istrinya, cukup banyak kasus seperti
ini maka telah betul apa yang disampaikan oleh Nabi kita.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْحَمْوُ
الْمَوْتُ
Artinya: “Hamwu (ipar) adalah maut.” (HR. Bukhari no. 5232 dan Muslim no.
2172)
Yang dimaksud dengan maut di sini yaitu berhubungan dengan keluarga dekat istri
dan keluarga suami yang bukan mahram perlu ekstra hati-hati dibanding dengan
yang lain. Karena dengan mereka seringkali bertemu dan tidak ada yang bisa
menyangka bahwa perbuatan yang mengantarkan pada zina atau zina yang keji itu
sendiri bisa terjadi. Kita pun pernah mendapatkan berita-berita semacam itu.
Hadits di atas juga mengajarkan larangan berdua-duaan
antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram. Karena dalam hadits sudah
disebutkan pula,
لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ
ثَالِثُهُمَا
Artinya: “Janganlah salah seorang di antara kalian berdua-duaan dengan
seorang wanita (yang bukan mahramnya) karena setan adalah orang ketiganya.”
(HR. Ahmad 1: 18. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih, para perowinya tsiqoh sesuai syarat Bukhari-Muslim).
Banyak yang tahu terkait masalah ini, akan tetapi mereka tidak mau meninggalkan larangan tersebut, disitulah awal mula kehancuran baginya.
Dikisahkan, suatu hari diselenggarakan sebuah jamuan
makan yang mereka namakan jamuan kekeluargaan. Yang terjadi kemudian adalah,
salah seorang lelaki dari keluarga tersebut mengundang saudara laki-lakinya
berikut istrinya untuk datang. Kemudian mulailah mereka menikmati arak bersama,
dimana ia memperbanyak takaran arak untuk para suami dan mengurangi takaran
untuk istri. Sedangkan dirinya sendiri hanya minum sedikit, agar tetap sadar
(terjaga) sehingga dapat memainkan peran jahatnya. Setelah lebih kurang satu
jam lamanya, mabuklah para suami hingga tidak sadarkan diri. Dilanjutkan
kemudian dengan sentuhan-sentuhan dan senda gurau yang turut ambil bagian
antara dirinya dengan istri-istri saudara-saudaranya yang juga telah sedikit
mabuk akibat mengalirnya alkohol di kepala mereka. Hingga yang terjadi
selanjutnya adalah lelaki tadi memangsa istri-istri saudaranya sendiri di dekat
para suami mereka yang tengah mabuk. (Dikutip dari buku Kado Perkawinan [terjemah],
Mahmud Mahdi al-Istambuli, hlm. 456).
Ada juga seorang suami istri yang selalu
rajin hadir di majelis-majelis ilmu, suatu ketika bisnisnya mengalami kerugian
akhirnya tidak ada modal untuk membangun bisnis lagi, dari situ mulai berpikir
untuk meminjam uang di Bank dan pada akhirnya direalisasikan, mereka paham
terkait riba tapi mereka meremehkannya, singkat cerita bisnis yang mereka
bangun dengan uang riba tersebut berkembang pesat sampai-sampai tidak sempat
lagi hadir di majelis-majelis ilmu seperti dulu, merambat ke sholat mulai tidak
sholat dan pertikaian dalam rumah tangga mulai muncul, akhirnya terjadilah perselingkuhan
dan dari situlah mereka bercerai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar