Minggu, 14 Mei 2023

ISLAM AGAMA YANG MUDAH (PART 2)

 


RUKHSAH DALAM SHALAT, PUASA, ZAKAT DAN HAJI


1. Shalat

Shalat haruslah dilakukan sesuai jumlah rakaatnya, dikerjakan tepat waktu berdasarkan waktu yang telah ditentukan, dan tidak boleh dilakukan sebelum maupun setelah waktunya dan kecuali sedang musafir (berperjalanan jauh) disunnahkan mengqashar (meringkas) shalat yang empat rakaat (Zhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua rukaat. Dan tidak ada qashar dalam shalat Maghrib dan Shubuh. Sebab untuk bisa  mengqashar shalat adalah hanya perjalanan jauh sebagai rahmat Allah bagi musafir.

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhum, dia berkata, Aku menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau tidak melebihkan shalat dalam perjalanan dari dua rakaat, begitu pula yang dilakukan Abu Bakar, Umar dan Utsman”.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengqashar shalatnya dalam perjalanan.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum qashar, apakah itu wajib ataukah rukhshah yang disunnahkan pelaksanaannya bagi musafir?

Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat adalah sunnah yang di anjurkan dan tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah dan membolehkan penyempurnaan dalam jumlah rakaat shalat, namun yang lebih baik adalah mengqasharnya. Sedangkan Abu Hanifah mewajibkan qashar, yang juga didukung oleh Ibnu Hazm. Ibnu Hazm berkata, “Fardhunya (shalat wajibnya) musafir (orang yang berperjalanan) ialah shalat dua rakaat”.

Sebaiknya musafir tidak meninggalkan qashar, karena mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sebagai cara untuk keluar dari perbedaan pendapat dengan orang yang mewajibkannya, dan memang qashar inilah yang lebih baik menurut mayoritas ulama.

Dikutip dari Ibnu Taimiyah di dalam Al-Ikhtiyarat, tentang kemakruhan menyempurnakannya. Dia menyebutkan nukilan dari Al-Imam Ahmad, yang tidak mengomentari sahnya shalat orang yang menyempurnakan shalat dalam perjalanan, Ibnu Taimiyah juga berkata: “Telah diketahui secara mutawatir, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa shalat dua rakaat dalam perjalanan, begitu pula yang dilakukan Abu Bakar dan Umar setelah beliau. Hal ini menunjukkan bahwa dua rakaat adalah lebih baik. Begitulah pendapat mayoritas ulama.

Ada istilah yang terkenal dan kadang dianggap sama atau identik dengan qashar yaitu jamak. Kedua istilah ini terkadang dianggap sama, padahal keduanya berbeda. Qashar adalah meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Seperti shalat Zhuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan shalat Magrib dan shalat Shubuh tidak bisa diqashar (diringkas). Sedangkan jamak adalah (menggabungkan) dua shalat, menjama’ shalat berarti menggabung dua shalat seperti shalat Zhuhur dengan shalat Ashar atau shalat Maghrib dan shalat Isyak tampa mengurangi kuantitas (jumlah) rakaatnya. Menjama’ shalat adalah melaksanakan dua shalat wajib dalam satu waktu. Seperti melakukan shalat Dzuhur dan shalat Ashar di waktu Dzuhur dan itu dinamakan jama’ taqdîm (dikerjakan bersama-sama pada waktu shalat yang pertama), atau dilaksanakan pada waktu shalat Ashar dan ini yang dinamakan jama’ ta’khîr (dikerjakan bersama-sama pada waktu shalat yang kedua). Atau menggabung pelaksanaan shalat Maghrib dan shalat Isya’ di waktu Maghrib atau melaksanakannya di waktu Isya’. Jadi shalat yang boleh dijama’ adalah semua shalat fardhu kecuali shalat Shubuh. Shalat Shubuh harus dilakukan pada waktunya, tidak boleh dijama’ dengan shalat Isya’ atau shalat Dhuhur.

Shalat jama’ lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjama’ shalat bukan saja hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga dilakukan orang yang sedang sakit atau karena hujan lebat atau banjir yang menyulitkan seorang Muslim untuk bolak-balik ke masjid. Dalam kondisi-kondisi ini, kita diperbolehkan menjama’ shalat. Ini berdasarkan hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Dhuhur dengan shalat Ashar dan shalat Maghrib dengan shalat Isya’ di Madinah. 

Imam Muslim menambahkan:

فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ

Bukan karena takut, hujan dan musafir.”

Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Syarah Muslim, V/215, ketika menjelaskan hadits ini mengatakan, “Mayoritas Ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikannya sebagai tradisi (kebiasaan). Pendapat serupa juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq al-Marwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma ketika mendengarkan hadist Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjama’ shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.

Seseorang yang menjama’ shalat karena musafir tidak mesti harus mengqashar shalatnya begitu juga sebaliknya. Karena boleh saja ia mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya. Seperti melakukan shalat Dzuhur dua rakaat pada waktu Zhuhur dan shalat Ashar dua rakaat pada waktu Ashar.

Shalat wajib dilakukan secara berjamaah di Masjid bagi laki-laki dan dengan cara berdiri kecuali orang yang sedang sakit boleh baginya  shalat di rumah atau dimanapun selama tempatnya suci dan sambil duduk atau berbaring jika tidak mampu berdiri.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

Artinya: “Shalatlah sambil berdiri. Jika tidak sanggup, maka sambil duduk. Jika tidak sanggup, maka sambil berbaring.” (HR. Bukhari dari Imran bin Hushain)

Shalat haruslah dilakukan dengan cara selalu menghadap kiblat dikecualikan dalam kondisi sedang perang (shalat khauf) dan tidak mengetahui arah kiblat setelah berusaha mencari arah kiblat.

Allah Azza wa Jalla berfirman: 

فَإنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَاناً فَإِذَا أَمِنتُمْ فَاذْكُرُواْ اللّهَ كَمَا عَلَّمَكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ

Artinya: Jika kamu takut (ada bahaya), shalatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan. Kemudian apabila telah aman, maka ingatlah Allah (shalatlah), sebagaimana Dia telah mengajarkan kepadamu apa yang tidak kamu ketahui”. [Al-Baqarah/2: 139]

Media untuk bersuci (berwudhu) adalah air yang suci lagi mensucikan jika tidak ada air (untuk bersuci) atau ada air tapi sedikit, maka diperbolehkan untuk bertayammum dengan mengunakan debu akan tetapi diperbolehkan tayammum jika sedang sakit yang mana apabila terkena air akan semakin sakit, dingin yang membahayakan dan airnya sedikit tidak cukup untuk makan dan minum kalau dia sedang di hutan dan susah mendapatkan air.

Jika terkena najis dalam keadaan shalat atau bersuci, hanya dicuci bagian yang terkena najis, (agama lain harus menggunting pakaian tersebut dan dibuang).

2. Puasa

Puasa dikerjakan pada bulan Ramadhan selama satu bulan berturut-turut dalam satu tahun akan tetapi orang sakit dan musafir (berperjalanan jauh) boleh tidak berpuasa pada kondisi tersebut akan tetapi wajib mengganti puasa pada hari yang lain sesuai jumlah hari yang ditinggalkan, demikian juga orang yang nifas (darah yang keluar setelah melahirkan) dan haidh (menstruasi).

Allah Azza wa Jalla berfirman berfirman:

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Artinya: “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185).

Orang yang sudah tua renta dan dalam keadaan lemah, juga orang sakit yang tidak kunjung sembuh. Para ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu berpuasa, boleh baginya untuk tidak berpuasa dan tidak ada qodho (puasa ganti) baginya. Menurut mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk memberi fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Pendapat mayoritas ulama inilah yang lebih kuat. Hal ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Artinya: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184)

 

Begitu pula orang sakit yang tidak kunjung sembuh, dia disamakan dengan orang tua renta yang tidak mampu melakukan puasa sehingga dia diharuskan mengeluarkan fidyah (memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan).

Ibnu Qudamah mengatakan, “Orang sakit yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya, maka dia boleh tidak berpuasa dan diganti dengan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Karena orang seperti ini disamakan dengan orang yang sudah tua.

Perempuan hamil dan menyusui apabila tidak mampu, boleh tidak berpuasa dengan menggantinya dalam bentuk qodho’

Jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih, maka boleh baginya untuk tidak berpuas. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

 

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ

Artinya: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman meringankan setengah shalat untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.

Namun apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa, apakah ada qodho’ ataukah mesti menunaikan fidyah? Inilah yang diperselisihkan oleh para ulama..

Kondisi ini berlaku bagi keadaan wanita hamil dan menyusui yang masih mampu menunaikan qodho’. Dalam kondisi ini dia dianggap seperti orang sakit yang diharuskan untuk mengqodho’ di hari lain ketika ia tidak berpuasa. Namun apabila mereka tidak mampu untukk mengqodho’ puasa, karena setelah hamil atau menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat lagi, maka kondisi mereka dianggap seperti orang sakit yang tidak kunjung sembuhnya. Pada kondisi ini, ia bisa pindah pada penggantinya yaitu menunaikan fidyah, dengan cara memberi makan pada satu orang miskin setiap harinya.

3. Zakat

Zakat hanya wajib dikeluarkan satu kali dalam setahun baik zakat fitrah maupun zakat maal (harta) dikeluarkan apabila sudah sampai nishab dan haul.

Zakat fithri merupakan kewajiban individu bagi setiap muslin baik orang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, bayi, anak-anak atau dewasa sebagaimana kewajiban-kewajiban lain yang tidak boleh diwakilkan dan memiliki kemampuan sehingga syarat wajib zakat fithri dua: (1) Islam dan (2) Mampu. Akan tetapi seorang anak, budak dan istri boleh dibayar oleh yang menangungnya yaitu suami dan tuannya.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ

Artinya “Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri sebanyak satu shaa’ kurma atau satu shaa’ gandum. Kewajiban itu dikenakan kepada budak, orang merdeka, lelaki wanita, anak kecil, dan orang tua dari kalangan umat Islam. Dan beliau memerintahkan agar zakat fithri itu ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (‘Id)”.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَدَقَةِ الْفِطْرِ عَنِ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ وَالْحُرِّ وَالْعَبْدِ مِمَّنْ تُمَوِّنُوْنَ

“Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan shadaqah fithri dari anak kecil dan orang tua, orang merdeka dan budak, dari orang-orang yang kamu tanggung”. [Hadits hasan. Lihat Irwa-ul Ghalil, no. 835]

Ukuran kemampuan, menurut jumhur ulama (Malikiyah, Syaifi’iyyah, dan Hanabilah) ialah, seseorang memiliki kelebihan makanan pokok bagi dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya untuk satu malam di hari ‘Id dan siang setelah ied.

BENTUKNYA

Yang dikeluarkan untuk zakat fithri adalah keumuman makanan pokok di daerah yang ditempati orang yang berzakat. Tidak terbatas pada jenis makanan yang disebutkan di dalam hadits-hadits. Demikian pendapat yang paling benar dari para ulama.

WAKTU MENGELUARKAN

Waktu pembayaran zakat fithri ada dua macam: (1) waktu afdhol (yang paling utama) yaitu mulai dari terbit fajar pada hari ‘idul fithri hingga dekat waktu pelaksanaan shalat ‘ied; (2) waktu yang dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum ied sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ibnu Umar dan ada juga yang berpendapat tiga hari sebelum ‘ied.

Yang menunjukkan waktu afdhol adalah hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:


مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

 

Artinya: “Barangsiapa yang menunaikan zakat fithri sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.”

Sedangkan dalil yang menunjukkan waktu dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum adalah disebutkan dalam shahih Al Bukhari:

 

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ – رضى الله عنهما – يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا ، وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ

 

Artinya” “Dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan dia mengeluarkan zakatnya itu sehari atau dua hari sebelum hari Raya ‘Idul Fithri.”

Ada juga sebagian ulama yang membolehkan zakat fithri ditunaikan tiga hari sebelum ‘Idul Fithri. Riwayat yang menunjukkan dibolehkan hal ini adalah dari Nafi’, ia berkata:

 

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ

 

Artinya: “Abdullah bin Umar memberikan zakat fitrah atas apa yang menjadi tanggungannya dua atau tiga hari sebelum hari raya Idul Fitri.”

 

Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat fithri boleh ditunaikan sejak awal Ramadhan. Ada pula yang berpendapat boleh ditunaikan satu atau dua tahun sebelumnya. Namun pendapat yang kuat dan yang lebih tepat dalam masalah ini, dikarenakan zakat fithri berkaitan dengan waktu fithri (Idul Fithri), maka tidak semestinya diserahkan jauh-jauh hari sebelum hari fithri. Sebagaimana pula telah dijelaskan bahwa zakat fithri ditunaikan untuk memenuhi kebutuhan orang miskin agar mereka bisa bersuka ria di hari fithri. Jika ingin ditunaikan lebih awal, maka sebaiknya ditunaikan dua atau tiga hari sebelum hari ‘ied.

 

Ibnu Qudamah Al Maqdisi mengatakan, “Seandainya zakat fithri jauh-jauh hari sebelum ‘Idul Fithri telah diserahkan, maka tentu saja hal ini tidak mencapai maksud disyari’atkannya zakat fithri yaitu untuk memenuhi kebutuhan si miskin di hari ‘ied. Ingatlah bahwa sebab diwajibkannya zakat fithri adalah hari fithri, hari tidak lagi berpuasa. Sehingga zakat ini pun disebut zakat fithri. … Karena maksud zakat fithri adalah untuk mencukupi si miskin di waktu yang khusus (yaitu hari fithri), maka tidak boleh didahulukan jauh hari sebelum waktunya.”

Waktu mengeluarkan zakat fithri, terbagi dalam beberapa macam:

Waktu wajib. Jumhur ulama berpendapat, waktu wajib membayarnya adalah, tenggelamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. Namun Hanafiyah berpendapat, waktu wajib adalah terbit fajar ‘Idul Fithri.

Waktu afdhal. waktu terbaik untuk membayar zakat fithri yaitu fajar di hari ‘Id, karena ada hari-hari yang di bolehkan untuk membayar dengan kesepakatan empat madzhab.

Waktu boleh. waktu yang seseorang dibolehkan bagi membayar zakat fithri boleh sehari, dua hari atau tiga hari sebelum Id begitupun boleh menyerahkannya kepada amil zakat lebih cepat sehari, dua hari atau tiga hari sebelum hari ‘Idul Fithri. Diriwayatkan dari Nafi’ ia berkata, “Ibnu ‘Umar menyerahkan zakat fitrah kepada panitia zakat, kemudian mereka membagikannya sehari atau dua hari sebelum hari ‘Idul Fithri.”

4. Haji

Hanya wajib sekali seumur hidup dan dilakukan bagi yang mampu atau ketika mampu. Barangsiapa yang ingin menambah, maka itu hanyalah sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya oleh al-Aqra’ bin Habis tentang berapa kali haji harus ditunaikan, apakah harus setiap tahun ataukah hanya cukup sekali seumur hidup? Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

بَلْ مَرَّةً وَاحِدَةً فَمَنْ زَادَ فَهُوَ تَطَوُّعٌ

“Haji itu (wajibnya) satu kali, barangsiapa yang ingin menambah, maka itu sunnah.”


HIKMAH RUKHSAH

1. Sebagai wujud kasih sayangnya Allah kepada para hambanya

2. Bukti bahwa agama islam adalah agama yang penuh dengan kemudahan dan tidak memberatkan

3. Kemudahan tersebut sebagai hadiah dan Allah senang ketika mengambilnya


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai rukhsah (keringanan-keringanannya)  diambil.

كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ

Artinya: “Sebagaimana Dia membenci kemaksiatannya didatangi/dikerjakan”

Dalam riwayat lain:

كَمَايُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ

Artinya: “Sebagaimana Allah menyukai kewajiban-kewajibannya didatangi”

4. Agar hambanya selalu melakukan kewajibanya di setiap keadaan dan kondisi sehinga tidak ada alasan untuk tidak mau menjalankan kewajibanyang di syariatkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Power Of Doa (Kekuatan Doa)

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâm ‘alâ rasûlillâh, amma ba’du! Setiap untaian doa yang dipanjatkan oleh seorang hamba dis...