Kamis, 01 Juni 2023

NIAT

 


Dari Amirul Mukminin, Abi Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

Artinya: “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasulnya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasulnya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim).     

KEDUDUKAN HADITS

 Imam As-Syafi’i berkata, “Hadits ini telah mencakup sepertiga ilmu, dan mengandung tujuh puluh bab masalah fikih.” (Kitab Jami’ Al ‘ulum Wa Al Hikam I/23. Lihat juga kitab Syarah Shahih Muslim XIII/47, kitab Fathul Bari I/17).

Imam Ahmad berkata, “Dasar-dasar, pokok-pokok Islam terangkum pada tiga hadits, yaitu:

Hadits ‘Umar:

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ

Hadits ‘Aisyah:

من أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

dan hadits An-Nu’man bin Basyir

اَلْحَلاَلُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ


DEFINISI NIAT

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Lafadz النِّيَّةُ dalam bahasa Arab sejenis dengan lafadz القَصْدُ (maksud/tujuan) yaitu kesengajaan hati secara sadar terhadap sesuatu yang dituju, dimaksud ketika mengerjakan sesuatu tersebut, الإِرَادَةُ (keinginan) dan semisalnya.”

Niat dapat mengungkapkan jenis keinginan, dan dapat pula mengungkapkan yang diinginkan itu sendiri.” (Kitab Majmu’ Al-Fatawa XVIII/251). Jadi niat itu kehendak hati untuk mengerjakan suatu perkara.


PENTINGNYA NIAT

Yahya bin Abi Katsir berkata, “Pelajarilah niat, karena niat lebih utama daripada amal.” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam I/34).

Mutharrif bin Abdullah berkata, “Baiknya hati karena baiknya amal, dan baiknya amal karena baiknya niat.” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum Wa Al Hikam 1/35).

Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Bisa jadi amal shaleh yang kecil dibesarkan oleh niat, dan bisa jadi amal shaleh yang besar dikecilkan nilainya.” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum Wa Al Hikam 1/35).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Seseorang yang telah bertekad ingin melakukan suatu kebaikan yang biasa sudah dia kerjakan, tetapi tidak bisa melakukannya karena terhalang oleh sesuatu hal, maka akan dicatat untuknya pahala amalan tersebut dengan sempurna. Contohnya, apabila seseorang yang biasa shalat berjamaah di masjid, akan tetapi terhalang oleh sesuatu seperti ketiduran, sakit atau semisalnya, maka akan dicatatkan untuknya pahala (seperti pahala) orang yang shalat berjamaah dengan sempurna, tidak dikurangi sedikit pun. Adapun apabila bukan sesuatu yang biasa diamalkannya, maka hanya akan dicatatkan untuknya pahala niatnya saja; tidak dengan pahala amalnya.” (Kitab Syarah Riyadhus Shalihin I/29).

Manusia diberi ganjaran pahala bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkatan niatnya. Ada yang sama-sama shalat, namun ganjarannya jauh berbeda. Ada yang sama-sama sedekah, namun pahalanya jauh berbeda karena dilihat dari niatnya. Makanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan tentang para sahabat yang hidup bersamanya:

لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى ، فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ

Artinya: “Janganlah kalian mencela sahabatku. Seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas semisal gunung Uhud, maka itu tidak bisa menandingi satu mud infak sahabat, bahkan tidak pula separuhnya.” (HR. Bukhari, no. 3673 dan Muslim, no. 2540).

                                    

KEUTAMAAN NIAT

Kaidah Fiqh

نِيَّةُ الْمَرْءِ أَبْلَغُ مِنْ عَمَلِهِ

Niat lebih utama daripada amalan

MAKNA KAIDAH:

Di antara yang menyebabkan timbangan amal kebaikan seseorang bertambah derajatnya di akhirat kelak adalah niat yang benar karena Allah. Barangsiapa berniat baik maka dia akan mendapatkan pahala meskipun dia belum mampu merealisasikannya dengan amalan. Apabila niat baik itu disertai dengan amalan maka dia meraih dua pahala, yaitu pahala niat dan pahala amalan.

Oleh karena itu, niat lebih utama daripada amalan karena niat adalah ruhnya amalan. Apabila keduanya bersatu padu, maka itu cahaya di atas cahaya. Imam Ibnul Qayyim berkata, “Adapun niat maka dia adalah pokok dan tiang seluruh perkara. Niat juga adalah asas dan pondasi yang terbangun di atasnya segala perkara. Sesungguhnya niat adalah ruh amalan, pemimpin dan pengendalinya, sedangkan amalan sekedar mengikuti. Amalan menjadi sah sesuai keabsahan niat dan menjadi rusak dengan rusaknya niat. Dengan niat tersebut akan didapatkan taufiq, adapun ketiadaan niat akan mendatangkan kehinaan. Dengan niat pula bertingkat-tingkatlah derajat manusia di dunia dan akhirat.

Ibnul Mubarak rahimahullah pernah mengatakan:

رب عمل صغير تعظمه النية، ورب عمل كبير تصغره النية

Artinya: “Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar (pahalanya) karena sebab niat. Dan betapa banyak amalan yang besar menjadi kecil (pahalanya) karena sebab niat.” (Al Ikhlas wan Niyyah).

Orang yang berniat melakukan amalan shalih namun terhalang melakukannya bisa dibagi menjadi dua:

Pertama: Amalan yang dilakukan sudah menjadi kebiasaan atau rutinitas (rajin untuk dijaga). Lalu amalan ini ditinggalkan karena ada udzur, maka orang seperti ini dicatat mendapat pahala amalan tersebut secara sempurna. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

Artinya “Jika salah seorang sakit atau bersafar, maka ia dicatat mendapat pahala seperti ketika ia dalam keadaan mukim (tidak bersafar) atau ketika sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996).

Juga kesimpulan dari hadits berikut:

Dari Jabir, Dia berkata, dalam suatu peperangan (perang tabuk) kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya di Madinah ada beberapa orang yang tidak ikut melakukan perjalanan perang, juga tidak menyeberangi suatu lembah, namun mereka bersama kalian (dalam pahala). Padahal mereka tidak ikut berperang karena kedapatan udzur sakit.” (HR. Muslim, no. 1911).

Dalam lafazh yang lain disebutkan:

إِلاَّ شَرِكُوكُمْ فِى الأَجْرِ

Melainkan mereka yang terhalang sakit akan dicatat ikut serta bersama kalian dalam pahala.”

Kedua: Jika amalan tersebut bukan menjadi kebiasaan, maka jika sudah berniat mengamalkannya namun terhalang, akan diperoleh pahala niatnya (saja). Dalilnya adalah seperti hadits yang kita bahas kali ini. Begitu pula hadits  mengenai seseorang yang  diberikan harta lantas dia gunakan dalam hal kebaikan, dimana ada seorang miskin yang berkeinginan yang sama jika dia diberi harta. Orang miskin ini berkata bahwa jika dia diberi harta seperti si fulan, maka dia akan beramal baik semisal dia. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ

Artinya: “Dia sesuai niatannya dan akan sama dalam pahala niatnya.” (HR. Tirmidzi no. 2325. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). (Lihat pembahasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin dalam Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 1:36-37).

FUNGSI NIAT

Fungsi niat dalam amalan seorang hamba adalah:

1. Membedakan antara ibadah dengan rutinitas (membedakan tujuan suatu perbuatan).
Misalnya, seseorang membasahi seluruh badannya dengan niat untuk menyegarkan badan, kemudian ada seorang yang lain membasahi seluruh badannya dengan niat mandi junub. Maka, mandinya orang yang kedua bernilai ibadah sedangkan mandinya orang yang pertama hanya bernilai rutinitas.

2. Membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain.
Misalnya, seseorang melakukan shalat dua raka’at dengan niat untuk melakukan shalat sunnah, kemudian seorang yang lain melakukan shalat dua raka’at dengan niat untuk melakukan shalat wajib. Maka amal kedua orang tersebut terbedakan karena sebab niatnya.

Dengan demikian, fungsi niat adalah membedakan antara ibadah dengan rutinitas dan membedakan antara ibadah yang satu dengan yang lainnya. Makna niat yang pertama yaitu membedakan tujuan suatu perbuatan, yang membedakan apakah suatu ibadah semata-mata ikhlas karena Allah atau karena yang lainnya.

Jadi dari fungsi niat yang kedua ini kita dapat menyimpulkan bahwa niat akan mempengaruhi kadar pahala yang diperoleh seorang hamba. Semakin murni keikhlasannya, semakin besar pahala yang akan ia dapat. Walau amalan yang ia lakukan ringan. Dan Semakin kecil kadar keikhlasan seorang hamba, walau amalan yang ia lakukan adalah amalan yang berpahala besar, namun bila keikhlasan dalam hatinya kecil, maka semakin kecil pula pahala yang ia peroleh.

Juga perkataan ulama salaf lainnya seperti Yahya bin Abi Katsir rahimahullah:

تَعَلَّمُوا النِّيَّةَ فَإِنَّهَا أَبلَغُ مِنَ العَمَل


Artinya: “Pelajarilah niat, karena ia lebih dahulu sampai di sisi Allah daripada amalan“

Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata:

صَلاَحُ القَلبِ بِصَلاَحِ العَمَلِ، وَ صَلاَحُ العَمَلِ بِصَلاَحِ النِّيَّة

Artinya: “Baiknya hati adalah dengan baiknya amalan. Dan baiknya amalan adalah dengan baiknya niat .

Sufyan Ats Tsauri rahimahullah:

مَا عَالَجتُ شَيئًا أَشَدُّ عَليَّ مِن نِيَّتِي لأَنَّهَا تَتَقَلَّبُ عَليّ


Artinya: “Tidak ada sesuatu yang paling berat untuk saya obati, kecuali masalah niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik dalam diriku“.

Niat yang ikhlas, selain mendatangkan keridhaan dan pahala dari Allah, juga akan meneguhkan hati kita disaat ujian datang. Dan hati kita akan tetap lapang, bagaimanapun hasil yang kita raih setelah usaha dan do’a.

Ibnul Qayim juga menjelaskan keagungan amalan-amalan hati : Amalan–amalan hati adalah pokok adapun amalan–amalan anggota badan adalah pengikut dan penyempurna. Sesungguhnya niat sekedudukan dengan ruh, adapun amalan seperti jasad, sehingga apabila ruh telah terpisah dengan jasad maka binasalah. Oleh sebab itu mengetahui hukum – hukum hati lebih penting dari pada mengetahui hukum-hukum jasad.

Sesungguhnya Allah menyikapi para hamba-hambanya di akhirat sesuai dengan niat-niat mereka di dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى نِيَّاتهِمْ

Artinya: “Manusia dikumpulkan (di padang mahsyar-pen) berdasarkan niat-niat mereka” (HR Ibnu Majah no 4230, dishahihkan oleh Syaikh Albani).

Beliau juga bersabda:                            

إنما يُبْعَثُ النَّاسُ عَلَى نِيَّاتِهِمْ

Artinya: “Manusia dibangkitkan hanyalah di atas niat-niat mereka” (HR Ibnu Majah no 4229, dihasnkan oleh Syaikh Albani).

3. kebiasaan yang mubah bisa bernilai ibadah apabila disertai dengan niat yang baik atau untuk ibadah


CATATAN PENTING

Niat yang baik tidak akan mengubah hukum sesuatu yang diharamkan menjadi halal, yang dilarang menjadi sebuah kebolehan dan yang tercela menjadi terpuji. Seperti mengambil harta orang lain (hukumnya haram), lalu disedekahkan agar meraih keutamaan sedekah, ini tentu tidak dibenarkan dalam kaidah niat begitupun seterusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Power Of Doa (Kekuatan Doa)

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâm ‘alâ rasûlillâh, amma ba’du! Setiap untaian doa yang dipanjatkan oleh seorang hamba dis...