Dari Amirul Mukminin, Abi Hafsh
‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa dia mendengar
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ
ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ
ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا
فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ
Artinya: “Sesungguhnya
setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang dia
niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasulnya, maka hijrahnya untuk
Allah dan Rasulnya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena
wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
KEDUDUKAN HADITS
Imam As-Syafi’i berkata, “Hadits ini
telah mencakup sepertiga ilmu, dan mengandung tujuh puluh bab masalah fikih.”
(Kitab Jami’ Al ‘ulum Wa Al Hikam I/23. Lihat juga kitab Syarah
Shahih Muslim XIII/47, kitab Fathul Bari I/17).
Imam Ahmad berkata, “Dasar-dasar, pokok-pokok Islam terangkum pada
tiga hadits, yaitu:
Hadits ‘Umar:
إنَّمَا الأعمَال
بالنِّيَّاتِ
Hadits ‘Aisyah:
من أَحْدَثَ فِيْ
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
dan hadits An-Nu’man bin Basyir
اَلْحَلاَلُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ
DEFINISI NIAT
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Lafadz النِّيَّةُ dalam bahasa Arab sejenis dengan
lafadz القَصْدُ (maksud/tujuan) yaitu kesengajaan
hati secara sadar terhadap sesuatu yang dituju, dimaksud ketika mengerjakan
sesuatu tersebut, الإِرَادَةُ (keinginan) dan semisalnya.”
Niat dapat mengungkapkan jenis keinginan, dan dapat pula mengungkapkan yang diinginkan itu sendiri.” (Kitab Majmu’ Al-Fatawa XVIII/251). Jadi niat itu kehendak hati untuk mengerjakan suatu perkara.
PENTINGNYA NIAT
Yahya bin Abi Katsir berkata,
“Pelajarilah niat, karena niat lebih utama daripada amal.” (Kitab Jami’
Al ‘Ulum wa Al Hikam I/34).
Mutharrif bin Abdullah berkata, “Baiknya hati karena baiknya amal, dan
baiknya amal karena baiknya niat.” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum Wa Al Hikam 1/35).
Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Bisa jadi amal shaleh yang kecil dibesarkan oleh niat, dan bisa
jadi amal shaleh yang besar dikecilkan nilainya.” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum
Wa Al Hikam 1/35).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Seseorang yang telah bertekad ingin melakukan suatu kebaikan yang
biasa sudah dia kerjakan, tetapi tidak bisa melakukannya karena terhalang oleh
sesuatu hal, maka akan dicatat untuknya pahala amalan tersebut dengan sempurna.
Contohnya, apabila seseorang yang biasa shalat berjamaah di masjid, akan tetapi
terhalang oleh sesuatu seperti ketiduran, sakit atau semisalnya, maka akan
dicatatkan untuknya pahala (seperti pahala) orang yang shalat berjamaah dengan
sempurna, tidak dikurangi sedikit pun. Adapun apabila bukan sesuatu yang biasa
diamalkannya, maka hanya akan dicatatkan untuknya pahala niatnya saja; tidak
dengan pahala amalnya.” (Kitab Syarah Riyadhus Shalihin I/29).
Manusia diberi ganjaran pahala
bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkatan niatnya. Ada yang sama-sama shalat,
namun ganjarannya jauh berbeda. Ada yang sama-sama sedekah, namun pahalanya
jauh berbeda karena dilihat dari niatnya. Makanya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menyatakan tentang para sahabat yang hidup
bersamanya:
لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى ، فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ
أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ
Artinya: “Janganlah
kalian mencela sahabatku. Seandainya salah seorang di antara kalian
menginfakkan emas semisal gunung Uhud, maka itu tidak bisa menandingi satu mud
infak sahabat, bahkan tidak pula separuhnya.” (HR. Bukhari, no.
3673 dan Muslim, no. 2540).
KEUTAMAAN NIAT
Kaidah Fiqh
نِيَّةُ الْمَرْءِ أَبْلَغُ مِنْ عَمَلِهِ
Niat
lebih utama daripada amalan
MAKNA
KAIDAH:
Di antara yang menyebabkan timbangan amal kebaikan
seseorang bertambah derajatnya di akhirat kelak adalah niat yang benar karena
Allah. Barangsiapa berniat baik maka dia akan mendapatkan pahala meskipun dia
belum mampu merealisasikannya dengan amalan. Apabila niat baik itu disertai
dengan amalan maka dia meraih dua pahala, yaitu pahala niat dan pahala amalan.
Oleh karena itu, niat lebih utama daripada amalan karena niat adalah ruhnya amalan. Apabila keduanya bersatu padu, maka itu cahaya di atas cahaya. Imam Ibnul Qayyim berkata, “Adapun niat maka dia adalah pokok dan tiang seluruh perkara. Niat juga adalah asas dan pondasi yang terbangun di atasnya segala perkara. Sesungguhnya niat adalah ruh amalan, pemimpin dan pengendalinya, sedangkan amalan sekedar mengikuti. Amalan menjadi sah sesuai keabsahan niat dan menjadi rusak dengan rusaknya niat. Dengan niat tersebut akan didapatkan taufiq, adapun ketiadaan niat akan mendatangkan kehinaan. Dengan niat pula bertingkat-tingkatlah derajat manusia di dunia dan akhirat.
Ibnul Mubarak rahimahullah pernah mengatakan:
رب عمل صغير تعظمه النية، ورب عمل كبير تصغره النية
Artinya: “Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar (pahalanya)
karena sebab niat. Dan betapa banyak amalan yang besar menjadi kecil
(pahalanya) karena sebab niat.” (Al Ikhlas wan Niyyah).
Orang yang berniat melakukan
amalan shalih namun terhalang melakukannya bisa dibagi menjadi dua:
Pertama: Amalan yang dilakukan sudah menjadi kebiasaan atau
rutinitas (rajin untuk dijaga). Lalu amalan ini ditinggalkan karena ada udzur,
maka orang seperti ini dicatat mendapat pahala amalan tersebut secara sempurna.
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ
مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
Artinya “Jika salah
seorang sakit atau bersafar, maka ia dicatat mendapat pahala seperti ketika ia
dalam keadaan mukim (tidak bersafar) atau ketika sehat.” (HR.
Bukhari, no. 2996).
Juga kesimpulan dari hadits
berikut:
Dari Jabir, Dia berkata, dalam
suatu peperangan (perang tabuk) kami pernah bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya di
Madinah ada beberapa orang yang tidak ikut melakukan perjalanan perang, juga
tidak menyeberangi suatu lembah, namun mereka bersama kalian (dalam pahala).
Padahal mereka tidak ikut berperang karena kedapatan udzur sakit.”
(HR. Muslim, no. 1911).
Dalam lafazh yang lain
disebutkan:
إِلاَّ شَرِكُوكُمْ فِى الأَجْرِ
“Melainkan mereka yang terhalang sakit akan
dicatat ikut serta bersama kalian dalam pahala.”
Kedua: Jika
amalan tersebut bukan menjadi kebiasaan, maka jika sudah berniat mengamalkannya
namun terhalang, akan diperoleh pahala niatnya (saja). Dalilnya adalah seperti
hadits yang kita bahas kali ini. Begitu pula hadits mengenai seseorang
yang diberikan harta lantas dia gunakan dalam hal kebaikan, dimana ada
seorang miskin yang berkeinginan yang sama jika dia diberi harta. Orang miskin
ini berkata bahwa jika dia diberi harta seperti si fulan, maka dia akan beramal
baik semisal dia. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ
Artinya: “Dia sesuai
niatannya dan akan sama dalam pahala niatnya.” (HR. Tirmidzi no.
2325. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). (Lihat pembahasan Syaikh Muhammad bin Sholih
Al-‘Utsaimin dalam Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 1:36-37).
FUNGSI NIAT
Fungsi niat dalam amalan seorang hamba adalah:
1. Membedakan antara ibadah dengan rutinitas (membedakan tujuan suatu
perbuatan).
Misalnya, seseorang membasahi seluruh badannya dengan niat untuk menyegarkan
badan, kemudian ada seorang yang lain membasahi seluruh badannya dengan niat
mandi junub. Maka, mandinya orang yang kedua bernilai ibadah sedangkan mandinya
orang yang pertama hanya bernilai rutinitas.
2. Membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain.
Misalnya, seseorang melakukan shalat dua raka’at dengan niat untuk melakukan
shalat sunnah, kemudian seorang yang lain melakukan shalat dua raka’at dengan
niat untuk melakukan shalat wajib. Maka amal kedua orang tersebut terbedakan
karena sebab niatnya.
Dengan demikian, fungsi niat adalah membedakan antara ibadah dengan
rutinitas dan membedakan antara ibadah yang satu dengan yang lainnya. Makna
niat yang pertama yaitu membedakan tujuan suatu perbuatan, yang membedakan
apakah suatu ibadah semata-mata ikhlas karena Allah atau karena yang lainnya.
Jadi dari
fungsi niat yang kedua ini kita dapat menyimpulkan bahwa niat akan mempengaruhi
kadar pahala yang diperoleh seorang hamba. Semakin murni keikhlasannya, semakin
besar pahala yang akan ia dapat. Walau amalan yang ia lakukan ringan. Dan Semakin
kecil kadar keikhlasan seorang hamba, walau amalan yang ia lakukan adalah amalan
yang berpahala besar, namun bila keikhlasan dalam hatinya kecil, maka semakin
kecil pula pahala yang ia peroleh.
Juga perkataan
ulama salaf lainnya seperti Yahya bin Abi Katsir rahimahullah:
تَعَلَّمُوا النِّيَّةَ فَإِنَّهَا
أَبلَغُ مِنَ العَمَل
Artinya: “Pelajarilah niat, karena ia lebih dahulu sampai di sisi Allah
daripada amalan“
Mutharrif bin
Abdullah rahimahullah berkata:
صَلاَحُ القَلبِ بِصَلاَحِ العَمَلِ،
وَ صَلاَحُ العَمَلِ بِصَلاَحِ النِّيَّة
Artinya: “Baiknya hati
adalah dengan baiknya amalan. Dan baiknya amalan adalah dengan baiknya niat .“
Sufyan Ats
Tsauri rahimahullah:
مَا عَالَجتُ شَيئًا أَشَدُّ عَليَّ
مِن نِيَّتِي لأَنَّهَا تَتَقَلَّبُ عَليّ
Artinya: “Tidak ada sesuatu yang paling berat untuk saya obati, kecuali
masalah niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik dalam diriku“.
Niat yang ikhlas, selain mendatangkan keridhaan dan pahala dari Allah, juga
akan meneguhkan hati kita disaat ujian datang. Dan hati kita akan tetap lapang,
bagaimanapun hasil yang kita raih setelah usaha dan do’a.
Ibnul Qayim juga menjelaskan keagungan
amalan-amalan hati : Amalan–amalan hati adalah pokok adapun amalan–amalan
anggota badan adalah pengikut dan penyempurna. Sesungguhnya niat sekedudukan
dengan ruh, adapun amalan seperti jasad,
sehingga apabila ruh telah terpisah dengan jasad maka binasalah. Oleh sebab itu
mengetahui hukum – hukum hati lebih penting dari pada mengetahui hukum-hukum jasad.
Sesungguhnya Allah menyikapi para
hamba-hambanya di akhirat sesuai dengan niat-niat mereka di dunia. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى نِيَّاتهِمْ
Artinya: “Manusia dikumpulkan (di padang mahsyar-pen)
berdasarkan niat-niat mereka” (HR Ibnu Majah no 4230, dishahihkan oleh Syaikh
Albani).
Beliau
juga bersabda:
إنما يُبْعَثُ النَّاسُ عَلَى نِيَّاتِهِمْ
Artinya: “Manusia dibangkitkan hanyalah di
atas niat-niat mereka” (HR Ibnu Majah no 4229, dihasnkan oleh Syaikh Albani).
3. kebiasaan yang mubah bisa bernilai ibadah apabila disertai dengan niat yang baik atau untuk ibadah
CATATAN
PENTING
Niat yang baik tidak akan mengubah hukum sesuatu yang diharamkan menjadi halal, yang dilarang menjadi sebuah kebolehan dan yang tercela menjadi terpuji. Seperti mengambil harta orang lain (hukumnya haram), lalu disedekahkan agar meraih keutamaan sedekah, ini tentu tidak dibenarkan dalam kaidah niat begitupun seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar