اِھْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَـقِيْمَ
"Tunjukilah kami jalan yang lurus"
PELAJARAN KETIGA, ayat ini merupakan ayat doa meminta hidayah, sehingga doa pertama yang termaktub dalam Al-Qur’an adalah bukan doa meminta ampunan, bukan doa meminta perlindungan dari api neraka dan bukan pula meminta surga, akan tetapi meminta hidayah karena tidak ada sebelum ayat ini yang mengandung doa. Ayat sebelum-sebelumnya mengandung pujian dan penetapan ibadah, jika seseorang mendapatkan hidayah tentu akan selamat di dunia maupun di akhirat. Oleh karenanya Syeikh Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam menjelaskan ayat ini, bahwa “manusia itu butuh hidayah dalam setiap waktu dan kondisinya, tidak ada seorangpun yang tidak membutuhkan hidayah karena hidayah itu bagaikan air yang merupakan sumber kehidupan manusia.”
Hidayah
pasti dibutuhkan semua golongan manusia baik yang kaya, miskin, berasal dari
desa, kota, baik yang berpendidikan maupun tidak. Saking pentingnya hidayah sampai-sampai Allah
menjadikannya untuk dibaca oleh semua orang yang sedang melakukan sholat bukan
sekedar dibaca dan dihafal akan tetapi sebagai rukun sholat yang harus lakukan dan diperhatikan. Dari
Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
لاَ
صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بَفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Artinya: “Tidak (sah)
sholat orang yang tidak membaca fatihatul kitab (al-Faatihah).” Muttafaq
‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/236 no. 756)], Shahiih Muslim
(I/295 no. 394), Sunan at-Tirmidzi (I/156 no. 247), Sunan an-Nasa-i (II/137),
Sunan Ibni Majah (I/273 no. 837), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/42
no. 807).
Ibnu Qoyyim murid Syeikh
Islam Ibnu Taimiyyah juga
menjelaskan ada 5 (lima) kondisi atau
keadaan yang menjadikan seseorang itu setiap saatnya membutuhkan hidayah,
dari orang jahil, para sahabat Nabi
yang mulia, wali dan orang-orang sholeh:
Kondisi
pertama, ada
diantara manusia yang
jahil (tidak tau apa-apa) tentang
agamanya
sehingga dia membutukan hidayah agar dia memahami agama yang dianut olehnya,
mana yang baik (haq) mana yang buruk (bathil), mana yang tauhid mana yang syirik, mana ketaatan mana kemaksiatan, mana yang
dibolehkan mana yang dilarang. Dia berhak membutuhkan hidayah atas
kejahilannya. Setelah dia mendapatkan hidayah berupa ilmu, dia akan membenahi
hidupnya, akan terang jalannya menuju Rabb sang ilaahi.
Kondisi
kedua, kadang ada diantara
kita yang paham ilmu separuhnya, akan tetapi separuhnya lagi tidak paham maka
meminta hidayah kepada Allah pada
kondisi ini agar diberikan pemahaman yang sempurna yang
menyeluruh seperti:
kita paham betul tentang dzikir akan tetapi kita tidak
paham tentang fikih muamalah, kadang kita paham kewajiban sholat lima waktu, akan
tetapi kita tidak paham tentang tata cara sholat yang benar sesuai tuntutan beserta hukum-hukum
seputar sholat secara spesifik, bahkan macam-macam sholat sunnah saja belum
paham, kadang kita paham mendidik orang lain akan tetapi tidak paham dan pandai
mendidik istri, anak dan keluarga kita,
kadang kita bisa sabar menghadapi orang lain, akan tetapi tidak sabar dalam
mengurus rumah tangga, sedikit-sedikit ribut padahal yang perlu membutuhkan kesabaran yang ekstra itu adalah dalam rumah tangga,
yang datang dalam kehidupan kita itu ada dua, ada yang menjadi barokah dan ada
yang menjadi ujian, kedua
hal ini
balasannya surga apabila kita menyikapinya dengan sabar dan syukur. Kita paham
cara membaca Al-Quran dengan baik dan benar akan tetapi kita tidak paham ilmu
tafsir, usul tafsir, asbabun nuzul surah dan ayat, ciri surah makiyyah dan
madaniyyah, isi kandungan Al-Quran tentang apa saja. Maka dikondisi ini kita
tetap membutuhkan hidayah untuk menyempurnakan pemahaman yang separuh tadi.
Kondisi
ketiga, ada diantara kita orang-orang yang paham ilmu tentang
keutamaan suatu ibadah dan balasan
sebuah keburukan
akan tetapi dalam prakteknya susah bahkan nol, seperti: kita
paham tentang keutamaan sholat malam, sholat syuruq, sholat dhuha, baca
Al-Quran, sedekah dan sholat berjamaah di Masjid, akan tetapi sangat berat
untuk melakukannya atau sangat berat rasanya untuk mengamalkanya dengan
konsisten. Begitupun betapa banyak diantara kita yang paham berkaitan
larangan-larangan yang seharusnya dijauhi seperti: berkata
kasar atau kotor itu adalah perkara yang dibenci, akan tetapi sering kita
melontarkannya bahkan kepada orang terdekat kita, kita paham mengambil harta
orang lain adalah haram hukumnya, mengambil tanah orang lain adalah berat
siksaannya akan tetapi rasanya berat untuk meninggalkannya maka inilah
pentingnya hidayah pada kondisi ini agar
apa yang kita ilmui atau ketahui itu kita bisa mengamalkannya.
Kondisi
keempat, kenapa
seorang itu selalu membutuhkan hidayah di setiap saat dan kondisinya, kadang kita meyakini sesuatu dalam
perkara agama itu benar akan tetapi itu salah dalam kacamata Islam, dengan
meminta hidayah agar Allah menunjukkan keyakinan yang benar, yang baik itu
baik, yang buruk itu buruk agar tidak terlalu terjerumus dalam keyakinan yang
salah terutama adalah perkara syubhat yang sangat sedikit orang paham. Sehingga
keadaan yang keempat ini membutuhkan hidayah agar bisa membedakan
keyakinan-keyakinan yang dikira benar padahal tidak benar, terutama di zaman
kita sekarang, zaman yang penuh dengan fitnah syubhat yang datang bertubi-tubi
sehingga kita susah membedakannya tanpa bantuan hidayah dari Allah, maka dari
itu jangan pernah malas meminta hidayah dan berhenti mencari kebenaran, sampai
kematian menjemput kita,
jangan ta’asub atau taklik buta terhadap sesuatu yang tidak benar, seperti: suap sudah jelas-jelas itu suap,
akan tapi ada yang mengatakan itu bukan suap tapi itu adalah hadiah, akhirnya
dia terima keyakinan syubhat. Ada tiga hal yang mengotori keyakinan yang benar
menjadi salah dan sebuah kesalahan dianggap benar. Pertama karena
banyak orang yang melakukan hal itu, kedua karena dianggap benar
oleh nenek moyang kita, ketiga karena persangkaan tanpa didasari
kebenaran ilmu.
Kondisi
kelima, Para sahabat Nabi yang mulia, orang berilmu
(alim), para wali dan ahli ibadah kenapa mereka tetap membutuhkan hidayah disetiap saat dan kondisinya, karena
belum tentu apa yang mereka dapatkan saat ini meninggal dalam keadaan tersebut.
Tidak ada garansi (jaminan) bagi
kita meninggal dalam keimanan, ketaatan dan kebenaran, betapa banyak kisah yang disampaikan oleh Allah
dan Rasul-Nya dalam lembaran-lembaran sejarah yang penuh dengan ibroh tentang orang-orang terdahulu yang bertaburan keimanan dalam
dirinya akan tetapi diakhir hayatnya meninggal dalam keadaan tidak beriman (murtad).
Seperti: Bal’am bin Bauroh apa
yang kurang dari Bal’am bin Bauroh hidup di zaman Nabi Musa ‘alaihi wassalam
dimana dia memiliki doa yang mustajab
dan tidak pernah doanya ditolak oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala saking
besar keimanan dan keyakinanya kepada Allah akan tetapi kata
Malik bin Dinar dalam menafsirkan QS. Al-A’raf ayat 175 bahwa dia meninggal
dalam keadaan murtad, Rojal bin Unfuuwah
sahabat Nabi yang dipuji dan dipilih oleh Abu Bakar sebagai delegasi sunnah
untuk berdakwah kepada Mussalamah Al-Kazzab, tidaklah dia dipilih melainkan
kualitas keimanan, ilmu, kecerdasannya telah diakui apakah meninggalnya
beriman? Murtad!, Ubaidullah bin Jahsyi yang pernah menyelamatkan
agamanya, misi hidupnya adalah agama harga mati dan itu dibuktikan dengan
berhijrah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
Mekkah ke Madinah kemudian hijrah yang kedua dari Madinah ke Habasyah, sesampai
di Habasyah mati dalam keadaan tidak beriman karena kecintaannya terhadap minum khamr yang membuatnya
murtad, seorang muadzin yang diceritakan oleh Imam Al Qurtubi matinya
murtad lantaran tergiur dengan kecantikan dan keterpesonaan seorang wanita nasrani, setiap kali
dia adzan di tempat yang tinggi, dia melihat wanita nasrani tersebut akhirnya
dia memberanikan diri untuk melamar wanita itu, wanita itu menolaknya karena
beda agama dan memberikan syarat bisa menikahinya dengan syarat berpindah agama
ke nasrani. Akhirnya dia pindah tidak lama setelah menikah, dia naik ke atas
atap atau suatu tempat
yang tinggi dan belum pernah menggauli atau hubungan biologis dengan istrinya,
kemudian dia jatuh dan meninggal.
Keadaan seperti di atas yang kita khawatirkan. Pengorbanan kita untuk keselamatan
agama dan keimanan kita tidak seberapa, sholat saja masih bolong-bolong dibandingkan mereka yang awalnya
bertaburan iman diakhir hayatnya murtad, sehingga kita harus selalu meminta hidayah agar
meninggal dalam keadaan beriman dan di
atas
ketaatan. Jangan sampai kita
tergolong seperti orang-orang yang disabdakan oleh Rasulullah:
إِنَّ أَحَدَكُمْ
لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا
إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ
النَّارِ فَيَدْخُلُهَا
Artinya: “sesungguhnya diantara kalian ada yang
melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal
sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan
ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka.”
Begitupun
sebaliknya banyak orang-orang terdahulu
yang menghiasi hari-harinya dengan amalan-amalan ahli neraka akan tetapi diakhir
hayatnya
mereka melakukan amalan-amalan ahli surga dan meninggal di atasnya. Seperti: cerita Usairin bin Asyhal,
seorang sahabat dikatakan oleh Rasulullah sebagai penghuni surga akan tetapi
keningnya belum pernah dipake untuk bersujud kepada Allah karena tidak lama
beliau masuk Islam, kemudian datang panggilan jihad dan dia ikut
bersama Rasulullah dan meninggal dipeperangan tersebut, sampai-sampai Abu
Hurairah mengatakan inilah penduduk surga yang belum pernah menempelkan
keningnya untuk bersujud kepada Rabb-Nya. Begitupun kisah yang familiar kisah
pembunuh 99 nyawa dan digenapkan
menjadi 100 nyawa.
وَإِنَّ أَحَدَكُمْ
لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا
إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ
الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
Artinya: “sesungguhnya diantara kalian ada yang
melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal
sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan
ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jadi jangan sombong
kalau hari ini kita mengisi hari-hari kita dengan amal sholeh dan juga jangan
magrur (tertipu) dengan keadaan kita sekarang,
belum tentu kita meninggal dalam keadaan seperti ini, sehingga kita harus selalu
meminta hidayah dan keistiqomahan sampai
maut menjemput kita di atas ketaatan dan keimanan. Karena
amalan itu tergantung diakhir.
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ
Artinya: “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607).
Baik amalan shaleh maupun amalan buruk semuanya dilihat dan dinilai diakhir
umurnya atau akhir hayatnya.
Az-Zarqani dalam Syarh Al-Muwatha’ menyatakan “bahwa amalan akhir
manusia itulah yang akan menjadi penentu dan atas amalan itulah akan dibalas.
Siapa yang beramal buruk lalu beralih beramal baik, maka dia dinilai sebagai
orang yang bertaubat. Sebaliknya, siapa yang berpindah dari iman menjadi kufur,
maka dia dianggap murtad.
Lalu apakah kita bersandar kepada takdir tampa mau beramal baik dan menjauhi
larangan-larangan Allah? sehingga kita pasrah dan bermalas-malasan beribadah? Tentu ini
bukan sebuah solusi karena pada umumnya seseorang itu akan dimudahkan untuk apa dia diciptakan,
jika dia diciptakan menjadi ahli surga maka dia akan mudah melakukan amalan
ahli surga begitupun sebaliknya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ ، أَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ
أَهْلِ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَأَمَّا مَنْ
كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ
Artinya: “Beramallah kalian! Sebab
semuanya telah dimudahkan terhadap apa yang diciptakan untuknya. Adapun
orang-orang yang bahagia, maka mereka akan mudah untuk mengamalkan amalan yang
menyebabkan menjadi orang bahagia. Dan mereka yang celaka, akan mudah mengamalkan
amalan yang menyebabkannya menjadi orang yang celaka”. (HR. Bukhari, kitab
at-Tafsir dan Muslim, kitab al-Qadar).
PELAJARAN KEEMPAT,
bahwa
hidayah itu milik Allah, hanya Allah yang bisa memberikan hidayah kepada seseorang, buktinya kita meminta hidayah
hanya kepada Allah bukan kepada siapa-siapa, kita parlu pahami ini juga agar kita tidak mudah
menyerah dan kecewa apabila kita menasehati
orang yang kita cintai, istri kita, anak kita, orang tua kita, saudara kita,
keluarga kita, sahabat kita dan manusia pada umumnya agar mengikuti jalan
kebaikan sesuai petunjuk dan ketaatan akan tetapi belum mengindahkannya itu
menunjukan bahwa mereka belum tersentuh oleh yang namanya hidayah, kita harus
terus menerus menasehati mereka jangan berputus asa, jangan menyerah dan
jangan kecewa karena kita hanya bisa menasehati, adapun hasilnya kita serahkan
kepada Allah, kewajiiban
kita hanya sebatas menyampaikan kebenaran dan kebaikan.
اَلْهِدَايَةُ بِيَدِاللهِ
Artinya : “Hidayah itu hanya milik Allah”
(masalah hidayah itu hak prerogatif Allah, bukan urusan
kita, kita hanya bisa berusaha
menjelaskan nama petunjuk yang benar dan buruk).
لَّيْسَ
عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۗ
Artinya: “Bukanlah
kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang
memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS
Al-Baqarah : 272).
Hidayah merupakan
perkara yang sangat spesial, tidak berpengaruh dengan kondisi dan keadaan siapa
yang menyampaikan sebuah petunjuk, kesholehan seseorang, kealiman seseorang
tidak bisa memberikan hidayah kepada
siapapun yang dia cintai, sesholeh
apapun seseorang, sealim apapun seseorang, sebesar apapun keimanan yang dimiliki oleh seseorang
tidak akan MUNGKIN
MAMPU memberikan hidayah,
lembaran sejarah yang penuh dengan ilmu dan kebenaran telah membuktikan atas
hal ini dan banyak kita jumpai dalam Al-Qur’an dan Hadits Seperti:
Kisah Nabih Nuh dan Luth ‘alaihi salaam, istri keduannya tidak beriman dengan risalah yang mereka
bawa, sebagaimana firman Allah:
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ
كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ ۖ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ
عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ
شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
Artinya: “ Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang sholeh diantara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): "Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)".
Kisah istri fir’aun apakah ke sholehaannya bisa memberikan hidayak kepada
fir’aun? Tidak.
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ آمَنُوا امْرَأَتَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Artinya: “Dan Allah membuat isteri Fir´aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: "Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir´aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim”. [QS. At-Tahrim :10-11).
Kisah Nabi Muhammad shalallahu
‘alaihi was sallaam
Masalah hidayah adalah
masalah siapa yang dikehendaki oleh Allah yang memiliki hidayah itu sendiri,
kendatipun kita memiliki metode (cara) berdakwah yang
efektif, cara membuat yakin orang dengan apa yang kita sampaikan, sekalipun kita
memiliki doa yang mustajab tidak berlaku pada masalah hidayah. Nabi Muhammad, tidak ada doa yang
beliau panjatkan melainkan doanya dikabulkan oleh Allah bahkan beliau simpan
juga untuk akhirat nanti untuk memberikan syafa’at keringanan umatnya untuk melewati shirat, akan tetapi
lihat berkaitan meminta hidayah untuk pamannya apakah diijabah? Tidak. Di saat Abu Thalib
sakaratul maut beliu
mentalkin dan mengatakan:
يَا
عَمِّ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللهِ
Artinya: “Wahai
pamanku, ucapkanlah “la ilaha illallah” kalimat yang dapat aku jadikan hujjah untuk membelamu
dihadapan Allah”.
Kemudian
turunlah ayat berupa
teguran
إِنَّكَ لَا تَهْدِي
مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ
بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi (cintai), tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. [Al Qashash/28 : 56]
Seorang Nabi, seorang Rasul yang memiliki al-Haudh
(telaga), yang syafa’atnya
pintu surga
dibukakan dan beliau yang pertama kali masuk surga saja tidak bisa memberikan
hidayah kepada orang yang
beliau cintai apalagi manusia biasa yang tidak memiliki garansi surga, jangankan masalah hidayah
masalah hati
sendiri saja kita dia tidak
menguasainya,
kapan dia bahagia, kapan
dia tersenyum, kapan
dia sedih dan kapan
dia nangis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar