Jumat, 12 Mei 2023

Pelajaran dari Ayat "Ihdinas-Siraatal-Mustaqiim" (Part 2)


اِھْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَـقِيْمَ

"Tunjukilah kami jalan yang lurus"

PELAJARAN KETIGA, ayat ini merupakan ayat doa meminta hidayah, sehingga doa pertama yang termaktub dalam Al-Qur’an adalah bukan doa meminta ampunan, bukan doa meminta perlindungan dari api neraka dan bukan pula meminta surga, akan tetapi meminta hidayah karena tidak ada sebelum ayat ini yang mengandung doa. Ayat sebelum-sebelumnya mengandung pujian dan penetapan ibadah, jika seseorang mendapatkan hidayah tentu akan selamat di dunia maupun di akhirat. Oleh karenanya Syeikh Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam menjelaskan ayat ini, bahwa “manusia itu butuh hidayah dalam setiap waktu dan kondisinya, tidak ada seorangpun yang tidak membutuhkan hidayah karena hidayah itu bagaikan air yang merupakan sumber kehidupan manusia.”

Hidayah pasti dibutuhkan semua golongan manusia baik yang kaya, miskin, berasal dari desa, kota, baik yang berpendidikan maupun tidak. Saking pentingnya hidayah sampai-sampai Allah menjadikannya untuk dibaca oleh semua orang yang sedang melakukan sholat bukan sekedar dibaca dan dihafal akan tetapi sebagai rukun sholat yang harus lakukan dan diperhatikan. Dari Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بَفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Artinya: “Tidak (sah) sholat orang yang tidak membaca fatihatul kitab (al-Faatihah).” Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/236 no. 756)], Shahiih Muslim (I/295 no. 394), Sunan at-Tirmidzi (I/156 no. 247), Sunan an-Nasa-i (II/137), Sunan Ibni Majah (I/273 no. 837), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/42 no. 807).

Ibnu Qoyyim murid Syeikh Islam Ibnu Taimiyyah juga menjelaskan ada 5 (lima) kondisi atau keadaan yang menjadikan seseorang itu setiap saatnya membutuhkan hidayah, dari orang jahil, para sahabat Nabi yang mulia, wali dan orang-orang sholeh:

Kondisi pertama, ada diantara manusia yang jahil (tidak tau apa-apa) tentang agamanya sehingga dia membutukan hidayah agar dia memahami agama yang dianut olehnya, mana yang baik (haq) mana yang buruk (bathil), mana yang tauhid mana yang syirik, mana ketaatan mana kemaksiatan, mana yang dibolehkan mana yang dilarang. Dia berhak membutuhkan hidayah atas kejahilannya. Setelah dia mendapatkan hidayah berupa ilmu, dia akan membenahi hidupnya, akan terang jalannya menuju Rabb sang ilaahi.

Kondisi kedua, kadang ada diantara kita yang paham ilmu separuhnya, akan tetapi separuhnya lagi tidak paham maka meminta hidayah kepada Allah pada kondisi ini agar diberikan pemahaman yang sempurna yang menyeluruh seperti: kita paham betul tentang dzikir akan tetapi kita tidak paham tentang fikih muamalah, kadang kita paham kewajiban sholat lima waktu, akan tetapi kita tidak paham tentang tata cara sholat yang benar sesuai tuntutan beserta hukum-hukum seputar sholat secara spesifik, bahkan macam-macam sholat sunnah saja belum paham, kadang kita paham mendidik orang lain akan tetapi tidak paham dan pandai mendidik istri, anak  dan keluarga kita, kadang kita bisa sabar menghadapi orang lain, akan tetapi tidak sabar dalam mengurus rumah tangga, sedikit-sedikit ribut padahal yang perlu membutuhkan kesabaran yang ekstra itu adalah dalam rumah tangga, yang datang dalam kehidupan kita itu ada dua, ada yang menjadi barokah dan ada yang menjadi ujian, kedua hal ini balasannya surga apabila kita menyikapinya dengan sabar dan syukur. Kita paham cara membaca Al-Quran dengan baik dan benar akan tetapi kita tidak paham ilmu tafsir, usul tafsir, asbabun nuzul surah dan ayat, ciri surah makiyyah dan madaniyyah, isi kandungan Al-Quran tentang apa saja. Maka dikondisi ini kita tetap membutuhkan hidayah untuk menyempurnakan pemahaman yang separuh tadi.

Kondisi ketiga, ada diantara kita orang-orang yang paham ilmu tentang keutamaan suatu ibadah dan balasan sebuah keburukan akan tetapi dalam prakteknya susah bahkan nol, seperti: kita paham tentang keutamaan sholat malam, sholat syuruq, sholat dhuha, baca Al-Quran, sedekah dan sholat berjamaah di Masjid, akan tetapi sangat berat untuk melakukannya atau sangat berat rasanya untuk mengamalkanya dengan konsisten. Begitupun betapa banyak diantara kita yang paham berkaitan larangan-larangan yang seharusnya dijauhi seperti: berkata kasar atau kotor itu adalah perkara yang dibenci, akan tetapi sering kita melontarkannya bahkan kepada orang terdekat kita, kita paham mengambil harta orang lain adalah haram hukumnya, mengambil tanah orang lain adalah berat siksaannya akan tetapi rasanya berat untuk meninggalkannya maka inilah pentingnya hidayah pada kondisi ini agar apa yang kita ilmui atau ketahui itu kita bisa mengamalkannya.

Kondisi keempat, kenapa seorang itu selalu membutuhkan hidayah di setiap saat dan kondisinya, kadang kita meyakini sesuatu dalam perkara agama itu benar akan tetapi itu salah dalam kacamata Islam, dengan meminta hidayah agar Allah menunjukkan keyakinan yang benar, yang baik itu baik, yang buruk itu buruk agar tidak terlalu terjerumus dalam keyakinan yang salah terutama adalah perkara syubhat yang sangat sedikit orang paham. Sehingga keadaan yang keempat ini membutuhkan hidayah agar bisa membedakan keyakinan-keyakinan yang dikira benar padahal tidak benar, terutama di zaman kita sekarang, zaman yang penuh dengan fitnah syubhat yang datang bertubi-tubi sehingga kita susah membedakannya tanpa bantuan hidayah dari Allah, maka dari itu jangan pernah malas meminta hidayah dan berhenti mencari kebenaran, sampai kematian menjemput kita, jangan ta’asub atau taklik buta terhadap sesuatu yang tidak benar, seperti:  suap sudah jelas-jelas itu suap, akan tapi ada yang mengatakan itu bukan suap tapi itu adalah hadiah, akhirnya dia terima keyakinan syubhat. Ada tiga hal yang mengotori keyakinan yang benar menjadi salah dan sebuah kesalahan dianggap benar. Pertama karena banyak orang yang melakukan hal itu, kedua karena dianggap benar oleh nenek moyang kita, ketiga karena persangkaan tanpa didasari kebenaran ilmu.

Kondisi kelima,  Para sahabat Nabi yang mulia, orang berilmu (alim), para wali dan ahli ibadah kenapa mereka  tetap membutuhkan hidayah disetiap saat dan kondisinya, karena belum tentu apa yang mereka dapatkan saat ini meninggal dalam keadaan tersebut. Tidak ada garansi (jaminan) bagi kita meninggal dalam keimanan, ketaatan dan kebenaran, betapa banyak kisah yang disampaikan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam lembaran-lembaran sejarah yang penuh dengan ibroh tentang orang-orang terdahulu yang bertaburan keimanan dalam dirinya akan tetapi diakhir hayatnya meninggal dalam keadaan tidak beriman (murtad). Seperti: Bal’am bin Bauroh apa yang kurang dari Bal’am bin Bauroh hidup di zaman Nabi Musa alaihi wassalam  dimana dia memiliki doa yang mustajab dan tidak pernah doanya ditolak oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala  saking besar keimanan dan keyakinanya kepada Allah akan tetapi kata Malik bin Dinar dalam menafsirkan QS. Al-A’raf ayat 175 bahwa dia meninggal dalam keadaan murtad, Rojal bin Unfuuwah sahabat Nabi yang dipuji dan dipilih oleh Abu Bakar sebagai delegasi sunnah untuk berdakwah kepada Mussalamah Al-Kazzab, tidaklah dia dipilih melainkan kualitas keimanan, ilmu, kecerdasannya telah diakui apakah meninggalnya beriman? Murtad!, Ubaidullah bin Jahsyi yang pernah menyelamatkan agamanya, misi hidupnya adalah agama harga mati dan itu dibuktikan dengan berhijrah bersama Rasulullah ­shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekkah ke Madinah kemudian hijrah yang kedua dari Madinah ke Habasyah, sesampai di Habasyah mati dalam keadaan tidak beriman karena kecintaannya terhadap minum khamr yang membuatnya murtad, seorang muadzin yang diceritakan oleh Imam Al Qurtubi matinya murtad lantaran tergiur dengan kecantikan dan keterpesonaan seorang wanita nasrani, setiap kali dia adzan di tempat yang tinggi, dia melihat wanita nasrani tersebut akhirnya dia memberanikan diri untuk melamar wanita itu, wanita itu menolaknya karena beda agama dan memberikan syarat bisa menikahinya dengan syarat berpindah agama ke nasrani. Akhirnya dia pindah tidak lama setelah menikah, dia naik ke atas atap atau suatu tempat yang tinggi dan belum pernah menggauli atau hubungan biologis dengan istrinya, kemudian dia jatuh dan meninggal.

Keadaan seperti di atas yang kita khawatirkan. Pengorbanan kita untuk keselamatan agama dan keimanan kita tidak seberapa, sholat saja masih bolong-bolong dibandingkan mereka yang awalnya bertaburan iman diakhir hayatnya murtad, sehingga kita harus selalu meminta hidayah agar meninggal dalam keadaan beriman dan di atas ketaatan. Jangan sampai kita tergolong seperti orang-orang yang disabdakan oleh Rasulullah:

إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا

Artinya: “sesungguhnya diantara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka.”

Begitupun sebaliknya  banyak orang-orang terdahulu yang menghiasi hari-harinya dengan amalan-amalan ahli neraka akan tetapi diakhir hayatnya mereka melakukan amalan-amalan ahli surga dan meninggal di atasnya. Seperti: cerita Usairin bin Asyhal, seorang sahabat dikatakan oleh Rasulullah sebagai penghuni surga akan tetapi keningnya belum pernah dipake untuk bersujud kepada Allah karena tidak lama beliau masuk Islam,  kemudian datang panggilan jihad dan dia ikut bersama Rasulullah dan meninggal dipeperangan tersebut, sampai-sampai Abu Hurairah mengatakan inilah penduduk surga yang belum pernah menempelkan keningnya untuk bersujud kepada Rabb-Nya. Begitupun kisah yang familiar kisah pembunuh 99 nyawa dan digenapkan menjadi 100 nyawa.

وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ  الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا

Artinya: “sesungguhnya diantara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga  maka masuklah dia ke dalam surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Jadi jangan sombong kalau hari ini kita mengisi hari-hari kita dengan amal sholeh dan juga jangan magrur (tertipu) dengan keadaan kita sekarang, belum tentu kita meninggal dalam keadaan seperti ini, sehingga kita harus selalu meminta hidayah dan keistiqomahan sampai maut menjemput kita di atas ketaatan dan keimanan.  Karena amalan itu tergantung diakhir.

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ

Artinya: “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607).


Baik amalan shaleh maupun amalan buruk semuanya dilihat dan dinilai diakhir umurnya atau akhir hayatnya.

 

Az-Zarqani dalam Syarh Al-Muwatha’ menyatakan “bahwa amalan akhir manusia itulah yang akan menjadi penentu dan atas amalan itulah akan dibalas. Siapa yang beramal buruk lalu beralih beramal baik, maka dia dinilai sebagai orang yang bertaubat. Sebaliknya, siapa yang berpindah dari iman menjadi kufur, maka dia dianggap murtad.

 

Lalu apakah kita bersandar kepada takdir tampa mau beramal baik dan menjauhi larangan-larangan Allah? sehingga kita pasrah dan bermalas-malasan beribadah? Tentu ini bukan sebuah solusi karena pada umumnya seseorang itu akan dimudahkan untuk apa dia diciptakan, jika dia diciptakan menjadi ahli surga maka dia akan mudah melakukan amalan ahli surga begitupun sebaliknya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ ، أَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ  وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ

Artinya: “Beramallah kalian! Sebab semuanya telah dimudahkan terhadap apa yang diciptakan untuknya. Adapun orang-orang yang bahagia, maka mereka akan mudah untuk mengamalkan amalan yang menyebabkan menjadi orang bahagia. Dan mereka yang celaka, akan mudah mengamalkan amalan yang menyebabkannya menjadi orang yang celaka”. (HR. Bukhari, kitab at-Tafsir dan Muslim, kitab al-Qadar).

PELAJARAN KEEMPAT, bahwa hidayah itu milik Allah, hanya Allah yang bisa memberikan hidayah kepada seseorang, buktinya kita meminta hidayah hanya kepada Allah bukan kepada siapa-siapa, kita parlu  pahami ini juga agar kita tidak mudah menyerah dan kecewa apabila kita menasehati orang yang kita cintai, istri kita, anak kita, orang tua kita, saudara kita, keluarga kita, sahabat kita dan manusia pada umumnya agar mengikuti jalan kebaikan sesuai petunjuk dan ketaatan akan tetapi belum mengindahkannya itu menunjukan bahwa mereka belum tersentuh oleh yang namanya hidayah, kita harus terus menerus menasehati mereka jangan berputus asa, jangan menyerah dan jangan kecewa karena kita hanya bisa menasehati, adapun hasilnya kita serahkan kepada Allah, kewajiiban kita hanya sebatas menyampaikan kebenaran dan kebaikan.

اَلْهِدَايَةُ بِيَدِاللهِ

Artinya : “Hidayah itu hanya milik Allah” (masalah hidayah itu hak prerogatif Allah, bukan urusan kita, kita hanya  bisa berusaha menjelaskan nama petunjuk yang benar dan buruk).

لَّيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۗ

Artinya: “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya.”  (QS Al-Baqarah : 272).

Hidayah merupakan perkara yang sangat spesial, tidak berpengaruh dengan kondisi dan keadaan siapa yang menyampaikan sebuah petunjuk, kesholehan seseorang, kealiman seseorang tidak bisa memberikan hidayah kepada  siapapun yang dia cintai, sesholeh apapun seseorang, sealim apapun seseorang, sebesar apapun keimanan yang dimiliki oleh seseorang tidak akan MUNGKIN MAMPU memberikan hidayah, lembaran sejarah yang penuh dengan ilmu dan kebenaran telah membuktikan atas hal ini dan banyak kita jumpai dalam Al-Qur’an dan Hadits Seperti:

Kisah Nabih Nuh dan Luth ‘alaihi salaam, istri keduannya tidak beriman dengan risalah yang mereka bawa, sebagaimana firman Allah:

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ ۖ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ 

Artinya: “ Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang sholeh diantara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): "Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)".

Kisah istri fir’aun apakah ke sholehaannya bisa memberikan hidayak kepada fir’aun? Tidak.

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ آمَنُوا امْرَأَتَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Artinya: “Dan Allah membuat isteri Fir´aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: "Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir´aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim”. [QS. At-Tahrim :10-11).

Kisah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi was sallaam

Masalah hidayah adalah masalah siapa yang dikehendaki oleh Allah yang memiliki hidayah itu sendiri, kendatipun kita memiliki metode (cara) berdakwah yang efektif, cara membuat yakin orang dengan apa yang kita sampaikan, sekalipun kita memiliki doa yang mustajab tidak berlaku pada masalah hidayah. Nabi Muhammad, tidak ada doa yang beliau panjatkan melainkan doanya dikabulkan oleh Allah bahkan beliau simpan juga untuk akhirat nanti untuk memberikan syafaat keringanan umatnya untuk melewati shirat, akan tetapi lihat berkaitan meminta hidayah untuk pamannya apakah diijabah? Tidak. Di saat Abu Thalib sakaratul maut beliu mentalkin dan mengatakan:

يَا عَمِّ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللهِ

Artinya: “Wahai pamanku, ucapkanlah “la ilaha illallah” kalimat yang dapat aku jadikan hujjah untuk membelamu dihadapan Allah”.

Kemudian turunlah  ayat berupa teguran

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

 

Artinya: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi (cintai), tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. [Al Qashash/28 : 56]

Seorang Nabi, seorang Rasul yang memiliki al-Haudh (telaga), yang syafaatnya pintu surga dibukakan dan beliau yang pertama kali masuk surga saja tidak bisa memberikan hidayah kepada orang yang beliau cintai apalagi manusia biasa  yang tidak memiliki garansi surga, jangankan masalah hidayah masalah hati sendiri saja kita dia tidak menguasainya, kapan dia bahagia, kapan dia tersenyum, kapan dia sedih dan kapan dia nangis.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Power Of Doa (Kekuatan Doa)

Bismillâhi wal hamdulillâhi wash shalâtu was salâm ‘alâ rasûlillâh, amma ba’du! Setiap untaian doa yang dipanjatkan oleh seorang hamba dis...